Sumpah demi Tuhan, hari itu bukan penampilan terbaikku. Malah cenderung sangat berantakan. Hari Jumat, kelasku mendapat giliran pelajaran olahraga, otomatis rambutku yang tidak tebal dan halus ini berkeringat, lepek. Wajahku tidak kalah semerawutnya, pipi memerah karena panas, serta berkeringat.
Sahabatku memilih waktu yang salah, saat jeda panjang untuk shalat Jumat, ia membawaku ke depan gerbang sekolah.
"Ayo, gue kenalin." Ujarnya sambil menyeretku.
Jika kau tahu bagaimana perasaanku, jika kau tau berapa kadar pedeku saat itu, kau mungkin akan prihatin.
Aku tak kuasa menolak.
Kau sudah tiba, menunggu untuk diperkenalkan denganku di depan sana.
Aku merasa oksigen di sekolahku yang luas mendadak habis, saat dari jauh sahabatku menunjuk mobilmu.
Waktu seolah berpihak pada oksigen untuk memojokkan aku. Ia berjalan terlalu lambat.
Aku gugup.
Aku menunduk, hanya menatap arah kaki sahabatku.
"Lik!" Panggilnya.
Saat itulah aku mendongak,
Posisimu berdiri tepat dihadapanku, terpisah beberapa langkah.
Tapi aku bisa lihat wajahmu dengan jelas disela poniku yang terjatuh.
Kau memakai jeans biru serta kaus putih bertuliskan nama universitasmu. Kau manis.
Entah karena kau sadar itu aku, orang yang akan diperkenalkan denganmu atau memang karena kau juga gugup sepertiku.
Kau tersenyum.
Aku? Seperti anak SMP baru pertama mendapat surat cinta.
Pipiku terasa lebih panas dan lebih merah dari sebelumnya.
Kakiku lemas.
Napasku tertahan.
Aku gugup setengah mati.
Sungguh aku bisa dengar degup jantungku.
Sungguh aku bisa merasakan telapak tanganku yang dingin.
Dan.. Sungguh aku tidak mengerti bagaimana bisa, sebuah perkenalan bisa terasa sekompleks itu.
"Kenalan dong!" Seru sahabatku memanas-manasi.
Kau mengulurkan tangan, ingin menjabat tanganku. Aku sambut jabatan tanganmu.
Aku tersenyum kecil,
"Imam." Katamu.
Sejak saat itu, aku tidak pernah sedetik pun melupakan namamu.
No comments:
Post a Comment