Tapi kali ini entah kenapa berbeda buat gue, sangat berbeda. Sampe gue berani menulis ini semua,
Hari ini gue ke Paramadina pake Bis. Yah, kalau taksi terus, mobil lagi. Ehemm, kapan gue belajarnya? Sebentar lagi gue jadi anak kos. Jelas gue harus tahu soal yang beginian, kalau gue naik taksi terus, bisa habis duit gue buat transportasi doang.
Baliknya, gue tetep naik Bis sama Ibu gue yang kayaknya tahu banget seluk beluk Jakarta. Gue tanya apa aja, bisa dijawab sama dia. Bis gue berhenti sebentar di deket FO De Brasco. Yah... Kayak bis pada umumnya lah, PASTI ada pengamen.
Gue lihat, anak perempuan sekitar umur 4 tahun membawa amplop putih untuk di bagi-bagikan, ia bersama kakaknya.
Mulailah kakaknya bernyanyi. Gue nggak tau judulnya, tapi familiar di telinga gue. Suaranya nggak bagus, kalau boleh jujur. Tapi gue malah sedih dengernya, gue langsung kebayang sama kehidupan gue sendiri. Gue bayangin kehidupan orang orang yang gue kenal, yang pastinya berbanding terbalik sama kehidupan yang mereka jalanin.
Tiba-tiba suara lain yang lebih cempreng dan nggak jelas artikulasi katanya mulai bernyanyi, melanjutkan lirik sang kakak. Ternyata si kecil. Teriak-teriak entah dia tahu arti yang dia nyanyikan atau enggak, yang dia tahu, dia harus bernyanyi untuk mendapatkan (kalau dapat) 500 rupiah, tergantung kebaikan hati yang ngasih.
Gue coba inget gimana hidup gue waktu kecil. Waktu seumur anak itu.
Seinget gue, dan seperti yang gue lihat di foto. Gue bahagia. Mungkin kalian juga sama, bahagia. Walaupun mungkin pernah terselip kesedihan, tapi kita nggak harus bernyanyi di tengah bis kota seperti itu. Anak itu pasti mau baju bagus. Dia pasti mau Barbie. Dia pasti mau apa yang dulu waktu kecil kita pernah mau. Tapi mungkin, dia nggak pernah terfikir mau itu semua, karena dia nggak pernah tahu.
Tiba-tiba suara lain yang lebih cempreng dan nggak jelas artikulasi katanya mulai bernyanyi, melanjutkan lirik sang kakak. Ternyata si kecil. Teriak-teriak entah dia tahu arti yang dia nyanyikan atau enggak, yang dia tahu, dia harus bernyanyi untuk mendapatkan (kalau dapat) 500 rupiah, tergantung kebaikan hati yang ngasih.
Gue coba inget gimana hidup gue waktu kecil. Waktu seumur anak itu.
Seinget gue, dan seperti yang gue lihat di foto. Gue bahagia. Mungkin kalian juga sama, bahagia. Walaupun mungkin pernah terselip kesedihan, tapi kita nggak harus bernyanyi di tengah bis kota seperti itu. Anak itu pasti mau baju bagus. Dia pasti mau Barbie. Dia pasti mau apa yang dulu waktu kecil kita pernah mau. Tapi mungkin, dia nggak pernah terfikir mau itu semua, karena dia nggak pernah tahu.
Allah Maha Adil. Kita semua sama dimatanya. Hanya memang rezeki kita yang porsi-nya berbeda beda.
Selesai bernyanyi, mereka turun. Duduk nggak jauh dari bis gue yang masih doyan ngetem disitu. Gue bener-bener nggak bisa untuk nggak memperhatikan mereka berdua. Kakaknya, mungkin seumuran gue. Cewek. Sibuk ngeluarin uang dari amplop. Saat amplop terakhir dibuka, ia menghela napas kecewa. Bener-bener terlihat jelas di wajahnya kalau apa yang dia dapat hari ini masih kurang untuk segera pulang dan istirahat.
Tiba-tiba si kecil terlihat merengek, kalo nggak salah baca bibir. Dia bilang dia haus.. Kakaknya dengan agak kasar mengambil uang 500an dari tas yang dibwa adiknya. Hemm.. Lagi lagi gue mikir, buat gue kadang kalo ada kembalian 500 nggak gue ambil. Gue biarkan aja di kasir atau dimana tempat gue beli. Tapi kayaknya bagi kakak tadi, 500 rupiah yang diminta adiknya untuk beli Aqua gelas, nampaknya sangat berharga sekali sampai ia bersikap agak kasar.
Gue lihat si kecil langsung berjalan membeli minum. Bis gue bergerak, sekarang ada di depan mereka. Si kecil sudah kembali duduk di samping kakaknya. Gue perhatiin Aqua gelas yang kecil ditangan gue, terlihat besaaar sekali di tangan dia.
Kalau gue punya uang banyak, rasanya gue ingin sekali membantu mereka. Apapun yang bisa gue bantu, akan gue kasih untuk mereka. Tapi sayang, gue sendiri pun hidup masih numpang sama orang tua. Tapi gue yakin, gue sedang dalam perjalanan gue untuk membahagiakan orang tua gue, lalu gue bisa melakukan apa yang ingin gue lakukan.
Apa yang gue lihat kali ini benar-benar menampar gue. Karena gue kadang masih suka mengeluh tentang hidup gue. Mungkin gue terlalu sibuk melihat keatas sehingga kepala gue pusing dan leher gue pegel. Tapi gue kadang lupa melihat kebawah, kehidupan lain yang bagaikan bumi dan langit di wajah cantik Jakarta yang menyimpan ribuan jerawat dibawah kulitnya.
Ini membuat sadar dan bersyukur bahwa gue beruntung. Gue sangat beruntung. Walaupun orang tua gue bukan Presiden atau Pengusaha kaya yang punya pulau 3 biji segede Bali, nggak punya Limosine yang panjangnya bikin macet Anyer-Panarukan, handphone yang bisa ngejebol firewall CIA, FBI sampai Densus 88 sangking canggihnya, walaupun rumah yang gue punya nggak selebar Parkir Timur Senayan... Kalau gue memalingkan wajah gue lagi ke mereka, gue beruntung.
Kita.. Yang kehidupannya nggak seperti mereka, sangat beruntung.
Selesai bernyanyi, mereka turun. Duduk nggak jauh dari bis gue yang masih doyan ngetem disitu. Gue bener-bener nggak bisa untuk nggak memperhatikan mereka berdua. Kakaknya, mungkin seumuran gue. Cewek. Sibuk ngeluarin uang dari amplop. Saat amplop terakhir dibuka, ia menghela napas kecewa. Bener-bener terlihat jelas di wajahnya kalau apa yang dia dapat hari ini masih kurang untuk segera pulang dan istirahat.
Tiba-tiba si kecil terlihat merengek, kalo nggak salah baca bibir. Dia bilang dia haus.. Kakaknya dengan agak kasar mengambil uang 500an dari tas yang dibwa adiknya. Hemm.. Lagi lagi gue mikir, buat gue kadang kalo ada kembalian 500 nggak gue ambil. Gue biarkan aja di kasir atau dimana tempat gue beli. Tapi kayaknya bagi kakak tadi, 500 rupiah yang diminta adiknya untuk beli Aqua gelas, nampaknya sangat berharga sekali sampai ia bersikap agak kasar.
Gue lihat si kecil langsung berjalan membeli minum. Bis gue bergerak, sekarang ada di depan mereka. Si kecil sudah kembali duduk di samping kakaknya. Gue perhatiin Aqua gelas yang kecil ditangan gue, terlihat besaaar sekali di tangan dia.
Gue jadi inget, suatu sore. Saat gue dan pacar gue baru pulang jalan-jalan. Seperti biasa kita bercanda-canda sepanjang jalan, tertawa menikmati setiap detik yang ada. Setiap detik berharga saat gue sama dia. Sekarang kita menuju rumah gue, lewat RTM. Di depan sebuah rumah makan. Di sela-sela tawa kita yang membahana sampai lagu di IPod nggak kedengeran, mendadak semua sunyi... Ternyata gue dan dia menyadari hal yang sama, melihat hal yang sama. Seorang bencong, dengan make up yang sudah nggak jelas lagi bagaimana tadinya. Mengelap kening sambil memeluk alat musiknya dan berjalan keluar dari pelataran parkir restoran. Wajahnya benar-benar lelah. Setelah itu, gue nggak tertawa lagi.
Gue masih ingat jelas bagaimana wajahnya. Wajah anak kecil itu. Semua wajah yang pernah gue lihat, nggak gue foto pakai kamera. Tapi gue foto di otak gue.
Kalau gue punya uang banyak, rasanya gue ingin sekali membantu mereka. Apapun yang bisa gue bantu, akan gue kasih untuk mereka. Tapi sayang, gue sendiri pun hidup masih numpang sama orang tua. Tapi gue yakin, gue sedang dalam perjalanan gue untuk membahagiakan orang tua gue, lalu gue bisa melakukan apa yang ingin gue lakukan.
Apa yang gue lihat kali ini benar-benar menampar gue. Karena gue kadang masih suka mengeluh tentang hidup gue. Mungkin gue terlalu sibuk melihat keatas sehingga kepala gue pusing dan leher gue pegel. Tapi gue kadang lupa melihat kebawah, kehidupan lain yang bagaikan bumi dan langit di wajah cantik Jakarta yang menyimpan ribuan jerawat dibawah kulitnya.
Ini membuat sadar dan bersyukur bahwa gue beruntung. Gue sangat beruntung. Walaupun orang tua gue bukan Presiden atau Pengusaha kaya yang punya pulau 3 biji segede Bali, nggak punya Limosine yang panjangnya bikin macet Anyer-Panarukan, handphone yang bisa ngejebol firewall CIA, FBI sampai Densus 88 sangking canggihnya, walaupun rumah yang gue punya nggak selebar Parkir Timur Senayan... Kalau gue memalingkan wajah gue lagi ke mereka, gue beruntung.
Kita.. Yang kehidupannya nggak seperti mereka, sangat beruntung.
No comments:
Post a Comment