Sampai bertemu lagi, Jakarta.
Kita berjumpa lagi kapan-kapan.
Saya, pamit.
Sejak dua hari yang lalu saya sudah tiba di sebuah kota. Saya terpisah ratusan kilometer dengan keluarga saya. Ombak pecah di bibir pantai. Itu cara ia mengucapkan selamat datang kepada. Karena seandainya ia manusia. Sudah habis diciumi wajah saya. Matahari terik, menggelapi kulit saya tetapi menerangi langkah saya.
Sayang saya tidak mempunyai kamera professional. Jika tidak akan saya abadikan apa yang membuat saya termangu. Aku flight malam. Dan, sejak kecil dulu aku selalu memaksa duduk di pojok kursi memandang keluar melihat lampu kota malam dari atas. Melihat kota sibuk dibawah sana. Sementara, yang lainnya gelap pekat.
2 malam yang lalu, aku masih merasakan euforia yang sama. Pesawat take off, Ibukota ku mulai mengecil. Makin kecil. Hingga aku hanya bisa melihat cahaya kecil, ada yang berkelip atau hanya diam, statis dibawah sana. Sisanya, tetap pekat. Betul itu bukan kita. Karena manusia tidak bercahaya. Tapi kita ada di dalamnya.
Tetapi apakah kalian akrab dengan kata-kata diatas?
Cahaya kecil. Berkelip. Terkadang diam. Diantara sisa pekat.
Ya, seperti bintang.
Tahukan bahwa dunia ini lebih luas dari luas yang bisa kamu bayangkan?
Mungkin... Kita ini bintang bagi mereka yang melihat kita dari atas sana.
Di atas sana ada yang memuji kecantikan cahaya kita, dan berharap kepada kita, percaya dengan keindahan kita. Kamu mau bilang saya salah? Saya mengada-ada? Saya juga tidak tahu, karena itu saya awali semua dengan mungkin.
Saya tidak tahu dengan yang lain. Ini hanya menurut saya saja, umur saya belum setengah abad, tapi saya sendiri sepertinya terlalu mengagumi hal lain di atas sana hingga lupa bahwa saya sama berharganya. Saya juga salah satu dari gugusan bintang dibawah sana bagi mereka yang melihat kita jauh dari atas. Terkadang saya lupa.
Ada kedamaian yang menyusup ke dalam hati saya. Terpaku seraya berfikir. Putaran cepat apa yang telah saya alami. Ketika tawa membahana. Tangis ketika jatuh dan terluka. Karena cinta atau apa saja. Memperkaya saya untuk bekal bersinar dan menjadi berharga. Menjadi kuat layaknya batu mulia.
Kita semua mengalami pasang. Mengalami surut. Melihat hal lain lebih terang dari biasanya, hanya kita yang gelap. Pendar memudar. Kita yang padamkan. Kita sendiri yang bunuh diri. Tersungkur, menunduk tidak mau bersinar lagi. Lupa jati diri. Bahwa kita bintang yang terlalu cepat berakhir dikagumi. Hanya karena diri sendiri.
Saya pergi, Jakarta.
Tidak jauh memang. Doakan saya.
Nanti saya akan kembali ke rumah, nanti.
Hingga redup pendar saya kembali bersinar.
Saya cinta kamu.
Oh ya, tidak perlu diambil pusing apa yang saya ucapkan. Saya mabuk udara.
Kita berjumpa lagi kapan-kapan.
Saya, pamit.
Sejak dua hari yang lalu saya sudah tiba di sebuah kota. Saya terpisah ratusan kilometer dengan keluarga saya. Ombak pecah di bibir pantai. Itu cara ia mengucapkan selamat datang kepada. Karena seandainya ia manusia. Sudah habis diciumi wajah saya. Matahari terik, menggelapi kulit saya tetapi menerangi langkah saya.
Sayang saya tidak mempunyai kamera professional. Jika tidak akan saya abadikan apa yang membuat saya termangu. Aku flight malam. Dan, sejak kecil dulu aku selalu memaksa duduk di pojok kursi memandang keluar melihat lampu kota malam dari atas. Melihat kota sibuk dibawah sana. Sementara, yang lainnya gelap pekat.
2 malam yang lalu, aku masih merasakan euforia yang sama. Pesawat take off, Ibukota ku mulai mengecil. Makin kecil. Hingga aku hanya bisa melihat cahaya kecil, ada yang berkelip atau hanya diam, statis dibawah sana. Sisanya, tetap pekat. Betul itu bukan kita. Karena manusia tidak bercahaya. Tapi kita ada di dalamnya.
Tetapi apakah kalian akrab dengan kata-kata diatas?
Cahaya kecil. Berkelip. Terkadang diam. Diantara sisa pekat.
Ya, seperti bintang.
Tahukan bahwa dunia ini lebih luas dari luas yang bisa kamu bayangkan?
Mungkin... Kita ini bintang bagi mereka yang melihat kita dari atas sana.
Di atas sana ada yang memuji kecantikan cahaya kita, dan berharap kepada kita, percaya dengan keindahan kita. Kamu mau bilang saya salah? Saya mengada-ada? Saya juga tidak tahu, karena itu saya awali semua dengan mungkin.
Saya tidak tahu dengan yang lain. Ini hanya menurut saya saja, umur saya belum setengah abad, tapi saya sendiri sepertinya terlalu mengagumi hal lain di atas sana hingga lupa bahwa saya sama berharganya. Saya juga salah satu dari gugusan bintang dibawah sana bagi mereka yang melihat kita jauh dari atas. Terkadang saya lupa.
Ada kedamaian yang menyusup ke dalam hati saya. Terpaku seraya berfikir. Putaran cepat apa yang telah saya alami. Ketika tawa membahana. Tangis ketika jatuh dan terluka. Karena cinta atau apa saja. Memperkaya saya untuk bekal bersinar dan menjadi berharga. Menjadi kuat layaknya batu mulia.
Kita semua mengalami pasang. Mengalami surut. Melihat hal lain lebih terang dari biasanya, hanya kita yang gelap. Pendar memudar. Kita yang padamkan. Kita sendiri yang bunuh diri. Tersungkur, menunduk tidak mau bersinar lagi. Lupa jati diri. Bahwa kita bintang yang terlalu cepat berakhir dikagumi. Hanya karena diri sendiri.
Saya pergi, Jakarta.
Tidak jauh memang. Doakan saya.
Nanti saya akan kembali ke rumah, nanti.
Hingga redup pendar saya kembali bersinar.
Saya cinta kamu.
Oh ya, tidak perlu diambil pusing apa yang saya ucapkan. Saya mabuk udara.