17.9.12

Bid adieu.

Sampai bertemu lagi, Jakarta.
Kita berjumpa lagi kapan-kapan.
Saya, pamit.


Sejak dua hari yang lalu saya sudah tiba di sebuah kota. Saya terpisah ratusan kilometer dengan keluarga saya. Ombak pecah di bibir pantai. Itu cara ia mengucapkan selamat datang kepada. Karena seandainya ia manusia. Sudah habis diciumi wajah saya. Matahari terik, menggelapi kulit saya tetapi menerangi langkah saya.
Sayang saya tidak mempunyai kamera professional. Jika tidak akan saya abadikan apa yang membuat saya termangu. Aku flight malam. Dan, sejak kecil dulu aku selalu memaksa duduk di pojok kursi memandang keluar melihat lampu kota malam dari atas. Melihat kota sibuk dibawah sana. Sementara, yang lainnya gelap pekat.

2 malam yang lalu, aku masih merasakan euforia yang sama. Pesawat take off, Ibukota ku mulai mengecil. Makin kecil. Hingga aku hanya bisa melihat cahaya kecil, ada yang berkelip atau hanya diam, statis dibawah sana. Sisanya, tetap pekat. Betul itu bukan kita. Karena manusia tidak bercahaya. Tapi kita ada di dalamnya.
 Tetapi apakah kalian akrab dengan kata-kata diatas?
Cahaya kecil. Berkelip. Terkadang diam. Diantara sisa pekat.
Ya, seperti bintang.
Tahukan bahwa dunia ini lebih luas dari luas yang bisa kamu bayangkan?
Mungkin... Kita ini bintang bagi mereka yang melihat kita dari atas sana.
Di atas sana ada yang memuji kecantikan cahaya kita, dan berharap kepada kita, percaya dengan keindahan kita. Kamu mau bilang saya salah? Saya mengada-ada? Saya juga tidak tahu, karena itu saya awali semua dengan mungkin.
Saya tidak tahu dengan yang lain. Ini hanya menurut saya saja, umur saya belum setengah abad, tapi saya sendiri sepertinya terlalu mengagumi hal lain di atas sana hingga lupa bahwa saya sama berharganya. Saya juga salah satu dari gugusan bintang dibawah sana bagi mereka yang melihat kita jauh dari atas. Terkadang saya lupa.
Ada kedamaian yang menyusup ke dalam hati saya. Terpaku seraya berfikir. Putaran cepat apa yang telah saya alami. Ketika tawa membahana. Tangis ketika jatuh dan terluka. Karena cinta atau apa saja. Memperkaya saya untuk bekal bersinar dan menjadi berharga. Menjadi kuat layaknya batu mulia.
Kita semua mengalami pasang. Mengalami surut. Melihat hal lain lebih terang dari biasanya, hanya kita yang gelap. Pendar memudar. Kita yang padamkan. Kita sendiri yang bunuh diri. Tersungkur, menunduk tidak mau bersinar lagi. Lupa jati diri. Bahwa kita bintang yang terlalu cepat berakhir dikagumi. Hanya karena diri sendiri.

Saya pergi, Jakarta.
Tidak jauh memang. Doakan saya.
Nanti saya akan kembali ke rumah, nanti.
Hingga redup pendar saya kembali bersinar.
Saya cinta kamu.

Oh ya, tidak perlu diambil pusing apa yang saya ucapkan. Saya mabuk udara.






27.8.12

It's just my morning.








It's just my morning
When I first sip my black coffee. 2 tsp of coffee, 3 tsp sugar. Your kind of favorite coffee you usually made not so long after we wake up. I could clearly see your face reflect on its dark surface.
We used to hold the cup by turns.
Sometimes I even sip it first before you, and you pretend to mad at me then we kissed. Snooging under the blanket once again.
I remember when I'm not fully awake and you want your coffee. You brew it by yourself and you don't mind.
"You still sleepy aren't you?" You said and pull me closer to you.
"Yes." I nodded and fallen asleep on your embrace.
And when I decided to wake up. I grab your coffee and my cig. You said,"No. You have to drink water first."
I moan but still grab a bottle of Aqua. And took a cig inside its pack and show it to you,"Now, may I?"
You nodded and smile.
It's just our morning. A months ago.
It's just my morning.
Now I brew my own coffee. Share it with my mom. Lit a cig with my mom.
But don't worry, I always drink water before I even soot it. I still remember all.
The pale yellow sunlight peeking the curtain, the smoke, the bed and the blanket, the smell of fresh brewed coffee. You and your morning smell. Your waking up face.
Well it's just my morning.
and the reminiscence about you.